Oleh: Aliansyah Jumbawuya
Setiap makhluk yang bernyawa niscaya akan merasakan kematian. Manusia tak mungkin mengelak dari ajal. Suatu saat nanti semua pasti mengalaminya. Beda antara yang satu dengan lain hanya terletak pada masalah waktu; ada yang cepat dipanggil menghadap Ilahi, ada yang diberi kesempatan hidup lebih panjang. Dan setiap kematian tentu menyisakan kesedihan, terlebih bila orang yang meninggal itu adalah sahabat dekat atau kerabat kita.
Kalau almarhum itu dikenal sebagai publik figur yang berjasa di masyarakat, tentu banyak orang yang punya ikatan emosional dengannya. Andai penulis cukup mengenal kepribadian dan kiprah tokoh tersebut, alangkah bagus bila ia menulis im memoriam yang bersangkutan. Dengan begitu, khalayak akan tergugah untuk mengenang kebaikan-kebaikan almarhum sembari dapat belajar dari sifat-sifat keteladanan yang pernah di tunjukkannya semasa hidup.
Dalam sebuah hadis Rasulullah mengingatkan: “Uzkuruu mahaasina mautaakum wa kuffuu’an masaawiihim.” Artinya, sebutlah-sebutlah oleh kalian segala kebaikan orang yang telah meninggal di antara kalian, dan tahanlah untuk tidak membeberkan keburukan mereka (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Hakim, dan Baihaqi).
Karena itu, dalam tulisan im memoriam sudah sepantasnya kita hanya mengungkapkan sisi positif yang melekat dalam diri almarhum. Seperti yang dilakukan Emha Ainun Nadjib, Putu Wijaya, dan budayawan lain ketika rekan mereka Asrul Sani, Hamid Jabbar, WS Rendra, meninggal dunia. Termasuk saat tokoh kontroversial Pramodya Ananta Toer menghembuskan nafas terakhir -- satu-satunya sastrawan Indonesia yang dicalonkan untuk mendapat Nobel, tapi ditentang habis-habis oleh sekelompok seniman karena pernah membelenggu kebebasan berkreativitas mereka yang tidak sehaluan dengannya -- tetap ada yang menulis im memoriam dia. Sebab, di sisi lain juga banyak pengagum berat pengarang trilogi “Bumi Manusia” ini. Mereka menganggap kesalahan Pramodya di masa lalu sudah tertebus karena dia dijembloskan sekian lama di tahanan Pulau Buru oleh pemerintah Orde Baru tanpa proses peradilan. Karena itu, dalam im memoriam dia, penulis mencoba melihat nilai plus dari diri Pramodya Ananta Toer.
Di tingkat lokal Kalsel, tatkala sastrawan Rifani Djamhari dan Jarkasi meninggal dunia beberapa waktu lalu, Sainul Hermawan dkk juga menulis im memorial keduanya. Hal serupa sering dilakukan KH Husin Nafarin, kalau ada ulama-ulama Kalsel baru meninggal dan cukup dikenal baik olehnya, ia segera menulis im memorial tokoh tersebut.
Paling tidak, melalui tulisan itu kita ikut andil memberitahu kepada khalayak, bahwa yang bersangkutan telah tunai menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Dengan demikian, para kenalan yang tadinya terlambat memperoleh informasi itu tergerak hati untuk memaafkan dan mendoakan almarhum agar mendapat kelapangan di sisi-Nya.
Suatu kali mantan rektor sebuah perguruan tinggi Islam di Banjarmasin meninggal dunia. Ternyata lembaga pendidikan dimana ia pernah mengabdi sama sekali tidak ada memasang pengumuman duka cita di media massa. Isteri almarhum sangat menyayangkan hal itu, bukan karena ingin dihormati secara berlebihan, tapi lantaran mengingat suaminya punya banyak teman dan mantan anak didiknya di mana-mana, kalau tidak ada yang menyebarluaskan informasi itu bagaimana mereka bisa tahu? Mungkin saja di antara mereka tersebut ada yang masih punya urusan dengan almarhum, misalnya terikat utang-piutang, sehingga bisa diselesaikan oleh pihak keluarga. Dan untungnya tabloid tempat saya bekerja dulu memuat im memoriam mantan rektor tersebut. Karena itu, isteri almarhum mengaku sangat berterima kasih.
Saya sendiri pernah menulis im memorial Prof. Dr. HM Gazali, cucu pendiri pesantren Al Falah Banjarbaru. Saya berusaha mengurai tabiat ulama yang rendah hati dan gemar berpuasa itu. Ketika tulisan tersebut dimuat, kemudian saya posting di blog, respon positif pun banyak berdatangan, terutama dari mereka yang pernah merasakan kebaikan dosen Fakultas Dakwah IAIN Antasari itu.
Ya, dengan menulis im memoriam, itulah bentuk penghormatan terakhir kita pada almarhum yang bersangkutan.
Kayak apa pendapat dangsanak, akur juakah? []
(Radar Banjarmasin, Minggu, 2 Oktober 2011)
0 komentar:
Posting Komentar