Senin, 05 September 2011

Membiasakan Menulis Setiap Hari

Oleh: Aliansyah Jumbawuya

Salah satu cara untuk menjadi penulis, menulislah hari ini.
(Susan Shaughessy)
***
SEORANG petinju profesional berlatih tidak hanya di saat ingin naik ring, jauh sebelumnya pun perlu senantiasa menjaga stamina. Tekun berlatih setiap hari agar gerakan dia tetap lincah dan pukulannya bertenaga. Sebab, kalau sering apalagi lama berhenti berlatih dikhawatirkan daya tahan dan skill si bersangkutan jadi menurun.

Begitu pula seorang penulis seyogianya sedapat mungkin mengasah pena setiap hari. Soal publikasi itu urusan nomor dua, yang penting menulis dulu. Mau dikirim ke media cetak, diposting di blog, atau disimpan di laci, terserah. Demikian juga topik yang hendak diangkat tidak mesti serius dan berat, hal-hal yang ringan dan santai pun layak dijadikan bahan tulisan. Dengan begitu, diharapkan menulis akan menjadi sebuah kebiasaan.
Para penulis senior acapkali menyarankan kepada calon penulis supaya memiliki buku harian. Anda pun bisa menerapkan anjuran serupa. Sebab, di diary itu Anda bisa bebas menuangkan apa saja: pengalaman pribadi, luapan emosi, respon terhadap kejadian di sekitar, dan sebagainya. Tidak ada aturan yang membatasi.
Dengan cara tersebut, Anda dilatih untuk membiasakan diri menulis setiap hari. Seiring itu pula, disadari atau tidak, kemampuan menulis Anda turut meningkat. Kalau dulu menulis tiga atau empat paragraf saja terasa sulit, sekarang mungkin sudah tak masalah lagi.
Aktivitas apa saja jika dilakoni secara berulang-ulang akan membuat kita semakin terampil dan lihai. Ingatlah waktu pertama kali belajar mengetik, jari kita sering tersendat-sendat lantaran harus mencari-cari letak tombol huruf, padahal dalam keadaan mata melek. Belakangan karena rutin melakukannya, tanpa melihat keyboard pun jari-jari kita dengan refleks menekan tuts-tuts huruf yang dikehendaki. Semua itu terjadi berkat proses pembiasaan.
Sekiranya menulis sudah jadi kebiasaan, niscaya ia bukan lagi beban. Justru menjelma sebagai kebutuhan, karena saat menulis ada semacam pelepasan emosi (katarsis). Tak heran setiap usai menulis kita dihinggapi perasaan plong. Lega… Sebaliknya, sehari saja alpa menggoreskan pena, terasa ada sesuatu yang mengganjal. Sama persis dengan orang yang terbiasa salat lima waktu, sekali meninggalkan spontan dihinggapi rasa berdosa.
Tapi, apa tidak bosan setiap hari menulis? Ketika seseorang memutuskan untuk jadi penulis, demikianlah konsekuensinya — ia harus mampu mengatasi kejenuhan. Pertanyaan senada juga patut diajukan kepada mereka yang berprofesi lain. Lihatlah guru hampir setiap hari mengajar di depan kelas, nelayan selalu mencari ikan, pedagang seharian suntuk menunggui barang jualannya, kok bisa tahan? Karena mau tidak mau, mereka mesti belajar mencintai pekerjaannya.


Sediakan Waktu

Bagi jurnalis menulis setiap hari memang sebuah tuntutan profesi, karena dari kegiatan itulah mereka menyandarkan sumber nafkah. Namun, jika kita hitung barangkali di negeri ini justru lebih banyak yang menjadikan menulis sebagai kegiatan sampingan. Ada yang pekerjaan utamanya adalah dosen, guru, aktivis LSM, dan sebagainya. Mereka ini tentu lebih mendahulukan tugas pokoknya ketimbang menulis.
Kendati demikian, bukan berarti tidak ada waktu luang untuk menulis. Persoalannya, apakah kita punya niat dan mau menyediakan waktu untuk itu atau tidak? Sebab, dari 24 jam dalam sehari itu andai memang punya itikad kuat untuk menulis, pasti ada waktu yang bisa disisihkan. Toh, kenyataannya tidak sedikit pendidik, ustadz, dokter yang di sela-sela kesibukan mereka masih sempat menulis.
Intinya, tergantung bagaimana kita memanajemen waktu dengan cerdas dan bijak. Tidak harus semua pekerjaan kita sendiri yang menangani, ada hal-hal yang bisa didelegasikan pada orang lain. Contoh, mencangkul rumput di halaman rumah kalau dikerjakan sendiri bisa menghabiskan waktu satu jam. Padahal, jika diupahkan paling-paling kita membayar Rp 20 ribu. Sementara jatah waktu satu jam tadi dapat kita pergunakan untuk ‘proyek’ lain yang dari segi manfaat maupun keuntungan finansial mungkin lebih besar.
Bagaimanapun kondisi kita, kalau memang serius ingin jadi penulis handal dan produktif, maka letakkanlah menulis sebagai prioritas. Jika menulis sudah masuk dalam daftar agenda rutin yang ‘harus’ dikerjakan, insya Allah sepadat apapun kegiatan harian kita masih ada waktu buat menorehkan pena.
Harus diakui, untuk membangun kebiasaan positif apapun, termasuk menulis setiap hari, bukanlah perkara mudah. Tapi, tidak berarti hal tersebut tak bisa diwujudkan. Karena itu, perlu motivasi dan kemauan yang kuat serta komitmen tinggi. Kalau kita sudah berjanji pada diri sendiri untuk menulis setiap hari, sedapat mungkin ditepati. Kalau tidak, kata Hernowo dalam bukunya “Agar Menulis-Mengarang Bisa Gampang”, mendingan jadi politisi saja.
Kayak apa pendapat dangsanak, akur juakah?

Sumber: www.pesastra.com

1 komentar:

Ervina Rahiem mengatakan...

sip..mantap..akur ja dah pa ai..hehe
salam kenal

Posting Komentar